Pada 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol secara mendadak mengumumkan darurat militer, menyatakan negara dalam keadaan darurat untuk pertama kalinya setelah 44 tahun. Langkah ini memicu kontrol penuh terhadap aktivitas dalam negeri, termasuk tindakan militer, yang mencuat karena ketakutan akan ancaman ideologi komunisme, serupa dengan darurat militer sebelumnya pada 1980.
Sejarah dan Paralel Terhadap ‘Hantu Merah’
-
Pada 1980: Darurat militer yang dinyatakan setelah Gerakan Demokratisasi Gwangju dijejali narasi melindungi negara dari pemberontakan yang disinyalir didalangi oleh agen komunis dari Korea Utara.
-
Pada 2024: Presiden Yoon menegaskan ancaman anti-state activities yang didukung oleh komunis Korea Utara sebagai alasan darurat.
Meskipun berlangsung hanya 6 jam dan disusul protes publik serta penolakan di parlemen, inti anti-komunisme tetap menjadi benang merah yang mengikat kedua kejadian tersebut, mencerminkan dampak retorika Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Manifestasi ‘Hantu Merah’
-
Ideologi Anti-Komunis: Menjadi landasan dominan dalam politik Korea Selatan, termanifestasi dalam Undang-Undang Keamanan Nasional yang menegaskan kedaulatan sejauh negara terbebas dari pengaruh komunisme.
-
Peran Amerika Serikat: Dekatnya hubungan dengan AS mengharuskan Korea Selatan untuk keras menentang pengaruh ‘merah’, khususnya dari Korea Utara.
Akuntabilitas dan Tantangan Demokrasi
Diskursus pasca-darurat militer mengkritisi langkah sepihak Presiden Yoon, yang dianggap melanggar prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Penekanan pada perlunya check and balances dari lembaga parlemen, yudikatif, dan masyarakat untuk mencegah otoritarianisme muncul dalam berbagai wacana.
Gelombang protes publik menyoroti stagnasi politik dan dominasi proxy politik AS, sementara isu ekonomi dan politik yang mendesak seringkali terabai oleh retorika ‘hantu merah’, yang kembali digunakan untuk kepentingan politik elite, sementara ketakutan akan kritik politik tumbuh di kalangan masyarakat.